Jasa Ekspedisi Samarinda Wajo
Jasa ekspedisi samarinda wajo berperan penting untuk membangun ekonomi dan bisnis di dua wilayah tersebut. Tak bisa dipungkiri bahwa potensi sumber daya alam dan industry di dua daerah ini terus berkembang dan membutuhkan bantuan akses pasar yang lebih luas lagi.
Jasa ekspedisi samarinda wajo yang dikelola oleh NAKULLE telah menjadi alternative solusi terbaik untuk melakukan pengiriman logistic dan kargo antar pulau Sulawesi dengan Kalimantan, terutama jalur yang menghubungkan samarinda dan kabupaten wajo.
Jasa ekspedisi samarinda wajo yang dijalankan oleh NAKULLE bisa anda gunakan dengan mudah, cukup ikuti langkah-langkah sederhana di bawah ini :
- Silahkan hubungi customer service NAKULLE di nomor whatsapp/call 0812-4342-5077.
- Kirimkan detail barang yang siap dikirim dalam bentuk gambar.
- Konsultasikan biaya pengiriman ke kota tujuan pengiriman.
- Konsulatasikan jadwal pengiriman barang.
- Bayar biaya pengiriman barangnya via transfer ke reķening NAKULLE.
- Silahkan di konfirmasi bukti transfernya agar barang segera masuk list barang yang siap diproses waktu keberangkatannya.
Setelah mengetahui bagaimana cara menggunakan layanan jasa ekspedisi NAKULLE, sekarang ada baiknya kita tahu bagaimana kondisi dan fakta menarik terkait dua wilayah yang berhasil dijangkau oleh NAKULLE, kota Samarinda dan Kabupaten Wajo.
Samarinda sendiri adalah ibu kota provinsi Kalimantan Timur dan samarinda merupakan kota dengan penduduk terbesar di seluruh Pulau Kalimantan dengan jumlah penduduk sekitar 812,597 jiwa.
Samarinda memiliki wilayah seluas 718 km² dengan kondisi geografi daerah berbukit dengan ketinggian bervariasi dari 10 sampai 200 meter dari permukaan laut. Kota ini dibelah oleh Sungai Mahakam dan menjadi gerbang menuju pedalaman Kalimantan Timur melalui jalur sungai, darat maupun udara. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 0,56 persen dari luas Provinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda merupakan wilayah terkecil ketiga setelah Kota Bontang dan Kota Balikpapan. Ditinjau berdasarkan batas wilayahnya, Kota Samarinda seluruhnya dikelilingi oleh Kabupaten Kutai Kartanegara.
Tradisi lisan penduduk Samarinda menyebutkan, asal-usul nama kota Samarindah adaah “Samarendah” yang dilatarbelakangi oleh posisi sama rendahnya permukaan Sungai Mahakam dengan pesisir daratan kota yang membentenginya.
Tempo dulu, setiap kali air sungai pasang, kawasan tepian kota selalu tenggelam. Selanjutnya, tepian Mahakam mengalami pengurukan/penimbunan berkali-kali hingga kini bertambah 2 meter dari ketinggian semula.
Oemar Dachlan mengungkapkan, asal kata “sama randah” dari bahasa Banjar karena permukaan tanah yang tetap rendah, tidak bergerak, bukan permukaan sungai yang airnya naik-turun. Ini disebabkan jika patokannya sungai, maka istilahnya adalah “sama tinggi”, bukan “sama rendah”. Sebutan “sama-randah” inilah yang mula-mula disematkan sebagai nama lokasi yang terletak di pinggir sungai Mahakam. Lama-kelamaan nama tersebut berkembang menjadi sebuah lafal yang melodius: “Samarinda”.
Kota Samarinda dihuni berbagai macam suku bangsa. Suku bangsa terbesar yaitu suku Jawa (36,70%), disusul Bugis (24,14%), Banjar (14,43%), Kutai (6,26%) dan Toraja (2,13%). Kemudian ada juga suku bangsa lainnya, yaitu Dayak, Minahasa, Tionghoa, Mandar, Buton, Minangkabau, Makassar, Madura, Batak, Sunda dan lain-lain.
Nah, selanjutnya kita akan membahas mengenai salah satu kabupaten yang terleltak di tengah provinsi Sulawesi selatan, Kabupaten Wajo.
Kabupaten Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.
Secara geografis, Kabupaten Wajo terletak pada 3°39′ – 4°16′ Lintang Selatan dan 119°53′ – 120°27′ Bujur Timur. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah hingga dataran rendah bergelombang dengan ketinggian wilayah 0-520 Mdpl. Hanya sebagian kecil yang berupa perbukitan di bagian utara. Bagian timur berupa dataran rendah dan pesisir Teluk Bone, termasuk pulau-pulau pasir di perairan Teluk Bone. Sedangkan bagian barat merupakan dataran aluvial Danau Tempe–Danau Sidenreng.
Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi Tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani perjanjian Bungaya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, di bawah pimpinan Arung Palakka.
Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.
Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, dialah yang memerdekakan Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).
Artikel ini resmi ditulis oleh tim marketing Nakulle.id